Oleh Dr. Imam Suyuti, S.Pd., M.Pd.
“Science is not only compatible with spirituality; it is a profound source of spirituality.” —Carl Sagan
Sains dan spiritualitas tidak semestinya dipandang sebagai pihak yang saling berlawanan atau bahkan bermusuhan. Pemahaman ilmiah tentang alam semesta justru seringkali memicu rasa kagum yang mendalam dan pengalaman transenden yang menjadi bahan baku spiritualitas. Mengetahui bagaimana alam bekerja, dari skala kosmik hingga molekuler, mampu menghadirkan arti, keajaiban, dan rasa keterhubungan yang terbebas dari mitos dan tahayul.
Secara fungsional, sains menjawab pertanyaan tentang “bagaimana” dan “seberapa” dengan metode observasi, eksperimen, dan verifikasi yang sistematis. Sementara itu, spiritualitas bertumpu pada pencarian makna, tujuan eksistensial, dan pengalaman batin yang seringkali bernuansa religius. Menurut Sagan, kedua ranah ini kompatibel karena pengetahuan empiris tidak otomatis meniadakan pengalaman religius atau nilai-nilai eksistensial. Sebaliknya, pengetahuan itu kerap memperkaya dimensi-dimensi tersebut. Kesadaran akan besarnya kosmos, asal-usul kehidupan dari proses kimia sederhana, atau struktur DNA yang menyimpan jejak sejarah biologis memberi ruang bagi perasaan kagum, kerendahan hati, dan keterhubungan, yang merupakan inti dari sebagian besar pengalaman spiritual.
Sains juga menyajikan gambaran komprehensif mengenai kondisi manusia dan planet, termasuk keterbatasan sumber daya, kerentanan biosfer, serta keterkaitan antar-ekosistem. Wawasan tersebut menumbuhkan kompas moral yang berakar pada realitas bersama dan tanggung jawab kolektif, bukan pada authority based truth yang sangat dogmatis dan sulit membuka ruang dialog. Dari pemahaman ini lahir bentuk spiritualitas yang baru, yakni etika tindakan yang muncul karena kesadaran akan konsekuensi nyata tindakan manusia terhadap jaringan kehidupan. Lebih jauh, narasi kosmologis yang memetakan perjalanan dari Big Bang, lewat pembentukan bintang dan sintesis unsur-unsur berat, hingga pembentukan planet dan munculnya kehidupan, menghadirkan peta konseptual rasional dan narasi koheren yang memperkaya konteks spiritual manusia dengan mengaitkan bukti empiris dan pencarian makna eksistensial.
Sagan tidak menyatakan bahwa sains sanggup membuktikan hal-hal supranatural, karena sains bukanlah instrumen untuk membuktikan hal-hal supranatural, sains memang tidak dirancang untuk itu. Metode ilmiah hanya berlaku pada ranah empiris; pada apa yang dapat diamati, diukur, dan diuji. Karena itu, apabila suatu klaim spiritual memasuki wilayah faktual yang berimplikasi fisik, seperti mukjizat atau intervensi ilahi yang berdampak material, maka klaim tersebut secara wajar menjadi terbuka untuk diuji secara ilmiah. Di sinilah potensi konflik antara sains dan kepercayaan dapat muncul. Namun, mengandalkan sains semata untuk menumbuhkan spiritualitas, berisiko mereduksi pengalaman religius menjadi hanya sekadar konsekuensi intelektual tanpa kedalaman afektif. Pengalaman religius yang otentik semestinya meliputi serangkaian ritual, kehidupan komunitas, praktik kontemplatif, dan bentuk kebersamaan yang tidak sepenuhnya dapat tergantikan oleh pengetahuan teoretis. Sains dapat memperkaya spiritualitas melalui pemahaman dan kekaguman terhadap realitas, tetapi tidak dapat sepenuhnya menggantikan kedalaman eksistensial dan ekspresi sosial yang terkandung dalam pengalaman religius.
Sagan mengajak kita melihat sains bukan sekadar sebagai alat ukur dan prediksi, tetapi juga sebagai sumber pengalaman transenden yang membangkitkan kekaguman, rasa keterhubungan, dan panggilan moral. Dalam perbandingan sederhana, sains menyediakan roadmap sedangkan spiritualitas memberikan arti filosofis. Namun roadmap tersebut, bila dipahami secara mendalam, bisa menginspirasi pengalaman spiritual karena memberi konteks dan makna. Dengan demikian, pemahaman ilmiah dapat menjadi dasar bagi pengalaman religius yang mendalam tanpa mengorbankan ketepatan epistemik.