Oleh: Rizal Fathurrohman, S.Pd., M.Pd
Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki posisi fundamental dalam pembentukan manusia, tidak hanya sebagai individu yang berpengetahuan, tetapi juga sebagai subjek bermakna dalam kehidupan sosial dan kultural. Dalam konteks Generasi Z, yang tumbuh di tengah percepatan teknologi digital dan fragmentasi nilai, PAI tidak lagi dapat dipahami sekadar sebagai transmisi ajaran normatif, melainkan sebagai proses pembentukan kesadaran etis dan eksistensial.
Generasi Z hidup dalam ruang digital yang menghadirkan kebebasan tanpa batas, sekaligus kebingungan makna. Arus informasi yang masif sering kali mengaburkan batas antara yang benar dan yang salah, yang esensial dan yang superfisial. Dalam situasi ini, Pendidikan Agama Islam berfungsi sebagai horizon makna yang membantu generasi muda memahami posisi dirinya sebagai manusia, hamba Tuhan, dan warga masyarakat. Secara filosofis, PAI mengarahkan peserta didik pada pencarian makna hidup yang berlandaskan nilai tauhid, keadilan, dan tanggung jawab moral.
Relevansi filosofis PAI terletak pada kemampuannya menjembatani antara rasionalitas modern dan spiritualitas Islam. PAI tidak menafikan akal dan sains, tetapi justru mengintegrasikannya dengan dimensi iman dan akhlak. Bagi Generasi Z yang kritis dan reflektif, pendekatan ini penting agar agama dipahami secara rasional, dialogis, dan kontekstual, bukan dogmatis. Dengan demikian, PAI berperan membentuk cara berpikir yang utuh antara logika, nurani, dan tindakan.
Lebih jauh, Pendidikan Agama Islam memiliki fungsi strategis dalam membangun kesadaran etis di ruang publik. Generasi Z tidak hanya dihadapkan pada persoalan personal, tetapi juga isu-isu global seperti krisis lingkungan, intoleransi, dan ketidakadilan sosial. Melalui PAI, nilai-nilai keislaman seperti amanah, keadilan, dan kemaslahatan dapat diinternalisasi sebagai prinsip tindakan sosial. PAI menjadi medium pembentukan subjek moral yang mampu bertindak secara bertanggung jawab dalam masyarakat plural.
Dalam perspektif pendidikan kontemporer, tantangan PAI bukan pada legitimasi nilainya, melainkan pada cara penyajiannya. PAI perlu dikembangkan dengan pendekatan pedagogis yang reflektif, partisipatif, dan berbasis pengalaman, agar sejalan dengan karakter Generasi Z yang terbiasa berpikir kritis dan dialogis. Integrasi teknologi digital dalam pembelajaran PAI menjadi keniscayaan, selama tetap berorientasi pada pembentukan makna dan nilai.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam memiliki relevansi filosofis yang mendalam dalam membentuk Generasi Z. PAI bukan sekadar instrumen normatif, tetapi ruang pembentukan kesadaran, karakter, dan orientasi hidup. Di tengah kompleksitas era digital, PAI berperan sebagai fondasi nilai yang menuntun generasi muda menuju kehidupan yang bermakna, beretika, dan berkeadaban.